Wednesday 3 October 2012

Menyelamatkan Musik Indonesia


Oleh: Ayos Purwoaji & Fakhri Zakaria

Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah. Lokananta.

Titik Sugiyanti memandangi ribuan piringan hitam penuh debu di depan matanya. Ruang penyimpanan tanpa pendingin itu penuh dengan ratusan rak besi yang menyimpan hampir 40.000 kaset vinyl dari berbagai genre. Meski di luar Malaysia berkoar-koar mengakui bahwa lagu “Negaraku” adalah milik mereka, namun Titik yakin, di satu tempat dalam ruangan ini, Lokananta menyimpan versi aslinya.

Setelah hampir seminggu melakukan pemilahan yang melelahkan, akhirnya lagu yang membuat kehebohan tadi ditemukan. Judul aslinya adalah “Terang Bulan” ciptaan Saiful Bahri yang asli orang Indonesia. Dalam arsip Lokananta lagu berdurasi 11 menit 15 detik ini pernah direkam di RRI Jakarta tahun 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes Studio Djakarta yang dipimpin langsung oleh Saiful Bahri.

Pada perkembangannya lagu bernuansa keroncong melayu inilah yang memikat pemerintah Malaysia yang baru merdeka untuk dijadikan lagu negara. Aden Bahri, ahli waris lagu Terang Bulan menuturkan bahwa lagu ini dihadiahkan presiden Soekarno untuk Malaysia. “Waktu itu hubungan Indonesia dengan negeri jiran masih sangat baik. Karena lagu ini juga akhirnya ayah saya mendapat penghargaan dari pemerintah Malaysia, fotonya masih ada”.

Cerita kembali terulang. Kali ini adalah lagu “Rasa Sayang Eh” yang muncul di iklan promosi pariwisata Malaysia. Dalam videonya, lagu ini dinyanyikan secara bergantian oleh anak kecil hingga orang tua. Sepertinya lagu ini memang sudah mengakar dalam budaya Malaysia. Tapi tunggu dulu, lagu ini –baik lirik dan nadanya- tidak lain adalah lagu tradisonal “Rasa Sayange” yang kita kenal hingga hari ini berasal dari Maluku. Masyarakat Indonesia seperti disulut urat marahnya, saat tahu tetangga sebelah kembali memakainya tanpa permisi. Lokananta pun kembali beraksi, menjadi pahlawan untuk kedua kali. Ternyata setelah ditelusuri lagu “Rasa Sayange” tersebut masuk dalam kompilasi Asian Games: Souvenir From Indonesia.  Album ini merupakan buah tangan dari Indonesia bagi negara-negara peserta Asian Games IV di Jakarta pada tahun 1962, Malaysia salah satunya.

Saat kasus klaim Tari Pendet oleh Malaysia pun Lokananta kembali bisa menunjukkan bukti, bahwa pendet adalah budaya asli milik Indonesia. Lokananta yang semula hilang pun akhirnya muncul di permukaan. Perusahaan rekaman yang terletak di jantung kota Solo ini ramai dibicarakan oleh media. Sayangnya itu tidak banyak merubah keadaan. Sebagai salah satu perusahaan rekaman tertua di Indonesia, Lokananta adalah sebuah kehidupan purba. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi seakan tidak terasa disini.

Tidak seperti gambaran perusahaan rekaman yang hip serta memajang deretan musisi muda berwajah segar, Lokananta adalah kebalikannya. Perusahaan rekaman tertua milik pemerintah ini hanya menyisakan sebuah nama besar. Gedung utamanya yang bergaya art deco seperti mengamini. Kusam dan muram. Waktu seperti berjalan lebih lambat di Lokananta.

Ada dua gedung utama yang dimiliki Lokananta; gedung lama dan gedung baru. Keduanya dipisahkan oleh sebuah jalan yang mengarah ke gedung lain milik Lokananta yang saat ini berubah fungsi sebagai lapangan futsal yang disewakan untuk umum. Setahun ini Lokananta memang sedang rajin-rajinnya mengundang masyarakat untuk datang. Lapangan futsal hanya salah satunya. Studio rekaman yang sebelumnya eksklusif, kini dibuka untuk umum. Pun demikian dengan dibukanya Sekolah Musik Lokananta.

Gedung lama Lokananta berbentuk persegi dengan banyak ruang. Di bagian beranda ada toko yang menjual produk rekaman seperti kaset atau CD, tepat di seberangnya adalah ruang untuk pemesanan. Masuk ke dalam, terdapat ruang mastering. Disinilah koleksi-koleki piringan hitam dialihkan ke bentuk CD. Di seberangnya, ruang pimpinan berderetan dengan museum mini yang menyimpan benda-benda memorabilia seperti alat pemutar piringan hitam, mesin pengganda kaset, beberapa koleksi piringan hitam, juga satu partisi yang memajang lagu Indonesia Raya tiga stanza beserta sampul piringan hitamnya serta foto Bung Karno yang berdiri gagah. Dua ruang penyimpanan koleksi piringan hitam dan kaset video persis berada setelahnya.

Sedangkan yang disebut gedung baru adalah ruang studio rekaman. Gedung ini dibangun tahun 1980 dan diresmikan lima tahun setelahnya oleh Harmoko, Menteri Penerangan saat itu. Dua buah ruangan di samping studio difungsikan sebagai ruang administrasi dengan perabot sisa-sisa peninggalan zaman Orde Baru, jika menilik pada tahun inventarisasi ditempel. Satu set komputer seperti menjad penanda adanya modernisasi di Lokananta yang sudah sepuh.

Tidak ada lalu-lalang pekerja seperti kondisi sebuah kantor pada jam kerja. Jumlah pegawai Lokananta hanya 18 orang, dengan jabatan yang kebanyakan berfungsi ganda dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Titik yang sudah 14 tahun bekerja di Lokananta memiliki jabatan sebagai administratur, akuntan, sekaligus humas dan sesekali bagian arsip. Ini terjadi sewaktu Titik menemukan piringan hitam “Terang Bulan” dan “Rasa Sayange”, keduanya hampir dalam keadaan yang mengenaskan. Penuh debu dan berjamur akibat terlalu lama disimpan. “Akhirnya saya berinisiatif untuk membersihkan seluruh koleksi Lokananta dan menatanya kembali,” kata wanita asli Klaten ini. Hasil kerja bakti Titik dibantu karyawan lain selama setahun ini akhirnya bisa menyelamatkan ribuan koleksi piringan hitam Lokananta dari proses pelapukan.
***

Jika diibaratkan, Lokananta mirip bank sentral dalam industri musik Indonesia. Tidak ada koleksi lagu daerah di Indonesia ini yang lebih lengkap dari Lokananta. Sayangnya tidak banyak dokumentasi dan pengarsipan yang jelas tentang album yang sudah dikeluarkan oleh Lokananta dalam setengah abad terakhir. Apalagi melakukan pendataan ulang terhadap ribuan koleksi lagu yang dimiliki Lokananta bukanlah perkara mudah. Diakui atau tidak, sejak awal hingga saat ini Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang jelas. Banyak sekali dokumen dan perjanjian dengan artis yang saat ini tidak bisa ditemukan lagi. 

Beruntung ada seorang peneliti yang peduli. Phillip Yampolsky dalam disertasinya yang berjudul Lokananta: A Discography of The national Recording Company of Indonesia 1957-1985 merunut dengan baik semua koleksi Lokananta. Ia melakukan penelitiannya pada tahun 1980-1982 sebagai disertasi untuk University of Wisconsin. Buku Phillip inilah yang sekarang menjadi kitab suci untuk menelusuri seluruh arsip rekaman yang dimiliki oleh Lokananta.

Dari penelitian Phillip, jenis keroncong, pop dan lagu melayu mendominasi koleksi Lokananta. Selain itu koleksi lainnya meliputi genre lagu perjuangan, lagu gereja, klenengan, langgam Jawa, degung Sunda, tarling Banyumasan, gandrung Banyuwangi, pop Madura, lagu Batak, hadrah, gambus, hingga siaran propaganda milik Pemerintah RI. Lokananta juga berperan menyimpan kepingan sejarah perjalanan bangsa ini. Lagu Indonesia Raya dalam tiga stanza telah tersimpan lama, jauh sebelum Roy Suryo membuat heboh dengan berbicara di depan infotainment jika dia menemukannya di Leiden. Rekaman pidato Bung Karno pada beberapa acara penting juga bisa ditemukan disini, salah satunya pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung.

Aden Bahri, anak dari Saiful Bahri, pencipta lagu Terang Bulan, merasakan betul bagaimana peninggalan ayahnya tadi masih disimpan dengan baik oleh Lokananta. “Awalnya yang bilang Bens Leo waktu kita ngumpul, saya lalu ingat semua lagu di RRI ada backupnya di Lokananta”, kata Aden.

Meski demikian, koleksi-koleksi tadi beserta puluhan ribu koleksi lainnya yang jumlahnya hampir mencapai lima ribu lagu dan 40 ribu keping piringan hitam, kondisinya masih mengenaskan. Keping vinyl yang sensitif pada suhu daerah tropis hanya disimpan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang minim. “Ya cuma buka tutup jendela aja. Pas jam kantor kita buka, pas nanti waktu pulang ditutup lagi”, ujar Titik dengan senyum getir. Untuk mengusir bau apek ini Titik hanya mengandalkan pengetahuan tradisionalnya untuk perawatan darurat. “Saya biasanya mencampur bubuk kopi dan kamper untuk mengusir bau,” kata Titik.

Bandingkan dengan saudaranya, film. Sejak tahun 1975, film Indonesia memiliki Sinematek Indonesia (SI) yang menyimpan dokumentasi perfilman Indonesia, mulai dari materi film, skenario, poster film hingga surat undangan preview film. Untuk menyimpan koleksi film, terdapat ruang penyimpanan khusus yang mempunyai tingkat kelembapan tertentu untuk menjaga film tetap awet.

Bukannya mau menakuti tapi jika terus dibiarkan lambat laun harta karun musik Indonesia tadi akhirnya habis oleh jamur dan lenyap dimakan zaman. Lokananta kemudian mengambil langkah penyelamatan dengan mendigitalisasi seluruh koleksi piringan hitam ke bentuk audio CD. Baru dua tahun ini hal tersebut berjalan.

Meski telambat tapi langkah ini adalah solusi yang paling mungkin. “Ketika saya masuk, proses digitalisasi ini baru dilakukan”, kata Bemby Ananto dari bagian re-mastering. Lokananta memang kekurangan sumberdaya manusia untuk melakukan hal-hal yang menyangkut teknis. Saat ini sudah hampir 80 persen dari lima ribu koleksi lagu yang dialihkan ke bentuk digital.

Butuh usaha dan kerja keras dalam melakukan proses transfer ini. Sambil bersandar dan diselingi sayup-sayup langgam Jawa hasil transfer , Bemby bercerita bahwa dia sering lembur untuk urusan transfer digital ini. “Setiap hari saya dengerin langgam Jawa dan lagu daerah, awalnya saya ndak suka, tapi karena terbiasa akhirnya suka sendiri,” kata Bemby. Dulunya ia adalah seorang mekanik. Bahkan sebelum di Lokananta, Bemby sempat bekerja di Jepang selama beberapa tahun. Saat kontrak kerja habis dan Bemby akhirnya pulang kampung, seorang teman menawarkan padanya untuk kerja di Lokanata. Tanpa pikir panjang Bemby menerima saja tawaran temannya. “Dulu saya nggak bisa sama sekali software rekam digital seperti ini. Akhirnya saya belajar sendiri, otodidak,” kata Bemby. Ia mengaku Lokananta adalah tempat kerja yang ia inginkan, meski masih sering alfa untuk masalah kesejahteraan karyawan. “Saya mau kerja sampai Lokananta bisa kembali besar,” kata pria asli Solo ini.  
 
Menurut Bemby, rekaman lawas produksi Lokananta ternyata juga tidak sepi peminat, meski  yang sering datang adalah mereka yang masuk kategori oldschool. “Sering ada bapak-bapak yang minta ditransferkan satu piringan hitam ke dalam CD dengan format MP3,” kata Bemby yang juga bertugas mengubah album dalam piringan hitam ke dalam bentuk digital. “Beberapa bahkan jadi kolektor. Ada seorang dari Semarang yang sering datang, setiap kali datang dia minta ditransfer lima vinyl sekaligus,” kata Bemby. Satu lagu dihargai 25 ribu rupiah. Jika ada delapan track dalam satu vinyl, maka biaya transfernya adalah 200 ribu rupiah. 
***

Perkembangan teknologi memang ditanggapi secara lambat oleh Lokananta. Selain baru saja mengadopsi teknologi format digital, Lokananta belum beranjak untuk membuat situs sebagai sarana pemasaran digital. Pendi Heryadi, kepala Lokananta, menjelaskan bahwa banyak kendala yang dihadapi untuk melakukan alih teknologi. Hal klise seperti pendanaan dari pemerintah pusat dan kurangnya sumber daya manusia adalah dua masalah utama yang dihadapai Lokananta. “Kami ini sulit, sebagai sebuah perusahaan negara, ada struktur dan birokrasi yang jelas, sedangkan Lokananta yang jauh dari pusat ini hanya bisa menunggu,” kata Pendi. Dirinya juga menceritakan kalau selama ini pemeliharan peralatan rekaman terpaksa dilakukan secara kanibal. Kembali lagi, ujung-ujungnya dana.

Dalam kantornya yang lengang Pendi menceritakan visinya sebagai nahkoda kapal yang mau karam. “Saat ini kami lebih terbuka, tidak membatasi diri, kami terbuka bagi siapapun yang punya itikad baik,” kata pria kelahiran Kuningan ini. ‘Kalo gak ada partner selain pemerintah, terus terang saja kami sulit”, sambungya. Pendi berharap, Lokananta bisa menjadi lembaga register musik Indonesia. “Nanti kan Lokananta akhirnya bisa menjadi semacam perpustakaan musik Indonesia.”

Sebagai kepala Lokananta yang baru, Pendi tidak memiliki latar belakang apa pun yang berkaitan dengan industri rekaman. Awal karir Pendi dirintis sebagai pegawai di Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), institusi yang menaungi Lokananta setelah Departemen Penerangan dibubarkan pada tahun 1998. sebelum menjabat sebagai kepala Lokananta, Pendi sebenarnya ditugasi oleh pimpinannya untuk melakukan riset pasar percetakan di Solo. Ternyata ada pergantian kepemimpinan di PNRI pusat. Oleh pimpinan yang baru, Pendi kemudian diangkat menjadi kepala Lokananta yang baru. “Industri rekaman adalah hal baru bagi saya,” kata Pendi yang sebelumnya lebih banyak bergelut di bidang industri grafika. “Pernah selama beberapa minggu saya bengong saja, ndak ngapa-ngapain”, kata Pendi yang baru tiga bulan ini menjabat.



Indonesia di medio 1950-an. Saat itu RRI masih menjadi raja, radio dengan jangkauan paling luas dengan segmen pendengar dari semua umur. Program utamanya berupa siaran berita dan pemutaran musik permintaan dari pendengar yang dikirim melalui lembar pilihan pendengar. Nama-nama musisi besar seperti Nat King Cole, Frank Sinatra, dan Elvis Presley merajai chart musik RRI, mengalahkan penyanyi lokal seperti Titim Fatimah yang beken dengan pop Sunda-nya. “Saya juga lebih suka Nat King Cole waktu itu, Titim Fatimah kan ndak enak, ha ha ha”, kata R. Iman Muhadi (72), pensiunan staf Direktur Utama dan Humas Lokananta.

R. Maladi, Direktur RRI Jakarta saat itu pun terlihat resah melihat kenyataan bahwa lagu Barat mendominasi pasar pendengarnya. Maladi lalu  menginstruksikan kepada 49 jaringan RRI di seluruh Indonesia untuk mengirimkan rekaman lagu daerah masing-masing. Setiap stasiun lokal minimal mengirimkan dua buah lagu. Dalam waktu singkat, RRI memiliki 98 buah lagu daerah dari seluruh pelosok Nusantara. Seluruh koleksi itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dan disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia. Pabrik pengganda pringan hitam yang awalnya hanya memenuhi kebutuhan siaran RRI inilah cikal bakal Lokananta. 

Maladi, yang pernah diangkat menjadi Menteri Penerangan selama dua periode (Kabinet Kerja I dan Kabinet Kerja II), bersama dua rekannya R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang masing-masing menjabat sebagai Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta pun berinisiatif mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah. Akhirnya, tepat pada tanggal 29 Oktober 1956  pukul 10 pagi waktu Jawa (sekarang WIB), Lokananta resmi berdiri di Solo. Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian Penerangan Republik Indonesia di Surakarta, begitu nama lengkapnya.

Sebelum Lokananta, perusahaan piringan hitam ini bernama Indra Vox. Indra adalah singkatan dari Indonesia Raya, sedangkan Vox adalah bahasa latin yang artinya suara. “Sayangnya nama Indra Vox ini ditolak oleh Presiden Soekarno, soalnya menurut beliau ndak jelas,” kata Muhadi. Setelah mencari berbagai nama pengganti, akhirnya Maladi menyebut Lokananta, seperangkat gamelan surgawi yang bisa berbunyi sendiri dengan nada yang indah. Alat musik ini terletak di negeri Suralaya, negeri para dewa menurut mitos pewayangan Jawa. Presiden Soekarno setuju. Entah ada hubungannya atau tidak, namun hingga hari ini seperangkat gamelan Kyai Sri Kuncoro Mulyo yang ada dalam ruangan studio Lokananta seringkali berbunyi sendiri. Bisa jadi memang benar; nama adalah doa. 

Selain Lokananta, saat itu ada lima perusahaan rekaman besar lain di Indonesia, yaitu Remaco, Mesra, Elshinta, dan Dimita yang ada di Jakarta. Sedangkan di luar Jakarta yang paling besar adalah Golden Hand. Masing-masing perusahaan rekaman memiliki pasar dan segmennya sendiri. Seperti Remaco (Republic Manufacturing Company) yang banyak merekam lagu dengan genre keroncong Kemayoran atau Golden Hand di Surabaya yang lebih suka merekam dangdut. Lokananta sendiri, terkait PP No. 125 Tahun 1961, lebih banyak merekam berbagai macam lagu daerah, khususnya keroncong dan langgam Jawa. Segmentasi musik pada masa itu kebanyakan sangat dipengaruhi oleh letak geografis.

Pemilihan kota Solo sebagai markas Lokananta pun merupakan cerita yang menarik. Saat itu Maladi berpikir bahwa Solo adalah pusat budaya karena dekat dengan empat kerajaan besar di Jawa yang masih eksis: Kasunanan dan Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan dan Pakualaman di Jogja. Niat awal didirikannya Lokananta memang menjadi pusat rekaman untuk lagu dan budaya Nusantara. Selain itu karena pusat RRI pada waktu itu adalah di Solo bukan di Jakarta. “Kalau diibaratkan sumur, ini merupakan sumber budaya yang kalau digali ndak akan kering”, kata Muhadi. Sangat mungkin jika masterplan Maladi berhasil, Solo saat seperti Hilversum, sebuah kota pusat yang menjadi pusat industri media di Belanda. Idenya juga serupa, berawal dari sebuah Hilversum Radio.

Pada awalnya Lokananta tidak memiliki studio sendiri. Semua rekaman dilakukan di studio milik RRI di seluruh Indonesia. Paling banyak dilakukan di RRI Solo. Akses istimewa ini didapat karena memang Lokananta lahir sebagai perusahaan transcription service untuk mendukung kinerja RRI pada saat itu. Hasil rekaman pun pada awalnya tidak dijual untuk umum, melainkan hanya dibagikan secara terbatas untuk seluruh stasiun RRI di Indonesia. Tapi karena banyaknya permintaan pendengar RRI untuk mengkoleksi album terbitan Lokananta, akhirnya pada tahun 1959 perusahaan negara di bawah Departemen Penerangan ini mulai menjual hasil piringan hitamnya secara mandiri untuk khalayak umum. “Waktu itu pendengar RRI suka sekali sama keroncong dan lagu daerah,” kata Muhadi yang saat itu masih menjadi tenaga honorer di RRI.

Masa keemasan Lokananta, itu terjadi pada dekade 1970-1980. Saat itu Lokananta sudah beralih menggunakan kaset. Teknologi kaset diadopsi oleh Lokananta tepatnya pada tahun 1972, sedikit terlambat beberapa tahun dari perusahaan rekaman lainnya. “Waktu itu penjualan piringan hitam menurun drastis, saat itu saya ditunjuk untuk melakukan riset pasar. Ternyata penyebabnya adalah para pembeli lebih suka format kaset daripada bertahan dengan vinyl,” kata Muhadi yang saat itu jabatannya di Lokananta adalah sebagai Manajer Produksi.

Lokananta pun berubah haluan. Muhadi ingat ini adalah perubahan yang sangat besar dalam sejarah Lokananta, dimana sebelumnya perusahaan ini memang dikhususkan sebagai perusahaan piringan hitam. Format kaset ini akhirnya direspon manis. Setiap bulan Lokananta mampu melepas 100 ribu keping kaset di pasaran. Lagu-lagu Waldjinah serta berbagai gending Jawa menjadi jaminan laku saat itu. “Selain itu produksi kita yang pasti laris adalah murottal Al-Quran dan adzan. Pasar terbesar untuk dua jenis terakhir ini ada di Jawa Timur,” kata Muhadi. 

Ternyata problem pembajakan bukan hanya masalah yang dihadapi industri musik saat ini saja. Sejak tahun 1982 Lokananta sudah berhadapan dengan para pembajak amatir. Pertama kali dicurigai karena penjualan kaset Lokananta menurun sejak saat itu. Muhadi kembali ditugaskan untuk melakukan riset pasar, akhirnya dia berhasil menemukan fakta bahwa banyak kaset Lokananta yang dibajak. Khususnya lagu-lagu populer yang banyak diminati masyarakat. “Zaman segitu saya menghadapi 129 kasus pembajakan, itu cuma di Jawa Tengah dan jawa Timur. Kami ajukan gugatan perdata di pengadilan. Saya berjuang sendiri saat itu. Kebanyakan pembajak ada di Surabaya, Malang, dan Bangkalan,” kata Muhadi.

Dia menemukan adanya hubungan antara keluarnya Indonesia dari Konvensi Berne pada tahun 1958 dengan maraknya pembajakan. “Karena kita tidak ikut aturan hak cipta internasional, maka bebas saja mencetak lagu dari luar negeri tanpa harus bayar royalti. Puncaknya adalah ketika para pembajak ini akhirnya juga membajak lagu-lagu dalam negeri. Industri musik bisa mati,” kata Muhadi. Selain itu, budaya kolusi juga membuat munculnya banyak perusahaan rekaman bodong. “Mereka itu para desk enterpreneur yang ndak punya label dan kantor tapi bisa menerbitkan album. Aneh kan ?” kata Muhadi. Akhirnya sebagai salah satu petinggi Lokananta, Muhadi dituntut untuk mulai belajar hukum dan seluk beluk industri rekaman. Muhadi mengatakan jika saat itu pemerintah memberikan perhatian terhadap kasus pembajakan dan mengeluarkan perundangan yang ketat, maka pembajakan tidak akan subur seperti hari ini. “Kasus pembajakan ini persoalan klasik industri musik,” kata Muhadi.

***
Meski mengecam keras perbuatan para pembajak, tapi di sisi lain Lokananta juga tidak bisa memberikan standar yang jelas mengenai pembayaran royalti kepada artis-artisnya. “Saya gak tahu itung-itungannya gimana, tau-tau dikasih duit”, kata Waldjinah. Maestro keroncong ini masih terlihat kenes, meski sudah tiga tahun ini penyakit infeksi usus menggerogoti tubuhnya. Beberapa saat lalu, dirinya juga sempet jatuh terpeleset ketika mengisi sebuah acara di studio RRI Jakarta. “Masih sulit buat berdiri, sudah dua bulan ini saya gak bisa nyanyi”.

Lahir di Solo, 7 November 1945, Waldjinah memulai karier menyanyinya sejak usia 13 tahun. “Dulu ibu saya sempat gak setuju, dibilang mirip ledhek (wanita penghibur)”, paparnya sambil terkekeh. Debutnya adalah sebuah festival kerjasama studio RRI Surakarta dan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dalam rangka promo film terbaru yang berjudul Delapan Pendjuru Angin. Lagu wajibnya adalah lagu keroncong berjudul Kembang Katjang yang menjadi theme song film yang dibintangi oleh Bambang Irawan dan Chitra Dewi ini. Waldjinah, yang saat itu merupakan peserta termuda, mendapat juara satu. Dirinya kemudian mendapat gelar Ratoe  Kembang Katjang.

Tidak berselang lama, Waldjinah lalu ditawari Lokananta untuk rekaman album kompilasi Kembang Katjang bersama S. Bekti dan S. Harti yang lebih senior. Untuk diingat, menjadi artis Lokananta adalah hal yang prestisius bagi musisi saat itu. Kriterianya hanya dua, tapi justru inilah yang membuat hanya sedikit musisi yang bisa menembus. ”Cuma yang jadi juara Pemilihan Bintang Radio RRI atau yang diminta sama Lokananta”, kata Waldjinah. Tahun 1959, album Kembang Katjang dilempar ke pasaran.

Debut album penuh Waldjinah adalah album Ngelam-Ngelami rilisan tahun 1967. Album ini berisi enam lagu. Beberapa diantaranya adalah ciptaan Gesang, seperti Ngelam-ngelami, Andung Basuki,  dan Dadi Ati.

Sayang, dirinya tidak tahu persis berapa album yang sudah dihasilkan saat bergabung dengan Lokananta. “Saya lupa jumlahnya, udah lama sekali. Tapi ada penggemar saya dari Jepang yang muter-muter di Lokananta sama Jalan Surabaya (Menteng, Jakarta) nyari piringan hitam saya  lalu dikasih ke saya. Ya belum lengkap semuanya sih” kata Waldjinah. Jumlah pastinya akhirnya didapatkan dari sebuah penelitian milik Sukanti dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta pada tahun 2002. Total ada tiga belas album berformat piringan hitam. Sebelas album merupakan album solo Waldjinah, sisanya merupakan kompilasi dengan penyanyi lain. Sedang yang berformat kaset sejumlah empat belas album. Selain keroncong, langgam Jawa juga mendominasi. 

Memang Waldjinah terkenal dengan lagu “Walang Kekek” yang direkam oleh label Elshinta pada tahun 1968, tapi Lokananta lah yang dianggap punya andil penting memoles penyanyi yang pernah berduet dengan Chrisye di lagu Semusim ini. Lokananta merupakan perkenalan pertamanya dengan dunia rekaman. “Waktu itu mikrofonnya cuma ada satu dan tinggi banget, saya kudu pakai dingklik (bangku kecil), yang mbero (vokal latar) waktu itu adalah pak Gesang”, kata Waldjinah.

Tahun 1965, Waldjinah mendapat gelar sebagai Bintang Radio Jenis Keroncong Tingkat nasional. Pialanya diserahkan langsung oleh Bung Karno. Ini adalah gelar yang paling berkesan diantara setumpuk penghargaan yang pernah diraihnya. “ Ini gelar pertama dan terakhir. Pertama kali saya dapat piala, terakhir kali Bung Karno yang nyerahkan piala, ujar Waldjinah. “Lokananta yang membuat saya dikenal...dan laku”, sambungnya kemudian.

Bagaimana tidak, Lokananta seakan punya penciuman yang tajam. Sesuai target pasar lagu-lagu Waldjinah, momen-momen yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa dimanfaatkan betul untuk berjualan album rekaman. ”Setiap Bakdha (Idul Fitri dan Idul Adha) sama musim giling tebu, Lokananta pasti bikin rekaman dan semua laku”, kata Waldjinah. Album “Entit” yang dirilis tahun 1971 menjadi album Waldjinah yang paling laris. Namun ketika ditanya berapa keping yang terjual, baik dari Waldjinah maupun Lokananta tidak bisa memberi jawaban yang pasti. “Saya pernah 3 bulan sekali rekaman album baru”, ujar Waldjinah seakan memberi gambaran kejayaan dirinya masa itu.

Larisnya penjualan album membuat Waldjinah ramai ditanggap di berbagai tempat, yang paling diingat adalah show di Malang pada tahun 1970. “Tempatnya indoor dan berjubel, tiba-tiba ada polisi nembak keatas, pelurunya mental di atap lalu nyasar kena penonton. Dua mati,” kenang Waldjinah.

Sayang, karena pembajakan yang semakin menggila di medio 80-an, kerjasama Waldjinah dan Lokananta harus terhenti. Pada tahun 1983, album Entit yang dirilis ulang dalam bentuk kaset menjadi salam perpisahan bagi hubungan yang sudah terjalin selama lebih kurang 25 tahun. “Lokananta kewalahan ngadepi kaset-kaset saya yang dibajak,” ujar Waldjinah. Lokananta tidak sanggup lagi memproduksi album dari Waldjinah. Saking gemasnya, pernah dalam satu kesempatan saat di Surabaya Waldjinah sengaja memborong kaset-kasetnya yang dibajak.

Setelah tidak lagi bersama Lokananta, Waldjinah gonta-ganti label rekaman. Labelnya yang terakhir adalah PT Gema Nada Pertiwi, kontraknya berakhir pada 2006. Sejak saat itu, Waldjinah enggan untuk kembali menjajal dapur rekaman. ”Malas kalau modelnya masih jual putus, gak jelas itung-itungannya,” kata Waldjinah.

Kini keseharian Waldjinah diisi dengan memberikan pelajaran menyanyi keroncong. Namanya “Belajar Menyanyi Keroncong”. Tempatnya di garasi rumahnya yang ada di daerah Mangkuyudan, Solo. Siapapun yang berminat bisa ambil bagian tanpa dipungut biaya. Sejak dimulai tahun 2004, semua biaya yang keluar diambil dari kocek Waldjinah sendiri. Dua tahun belakangan, pemerintah kota Solo memberikan uang pembinaan seiring dengan dicanangkannya Solo sebagai Kota Keroncong pada tahun 2007 silam. Waldjinah juga menjabat sebagai ketua Himpunan Artis Keroncong Republik Indonesia (HAMKRI) untuk wilayah Solo dan sekitarnya.

Meski sudah tidak ada hubungan kerja lagi, Waldjinah tetap menganggap Lokananta sebagai titik terpenting karier musiknya. Diakui Waldjinah, studio rekaman Lokananta adalah yang terbaik. “Saya sudah pernah coba beberapa studio, tapi Lokananta tetep yang paling bagus”, katanya sambil mengacungkan ibu jari. Ruangannya yang seluas 14x31 meter membuat tak kesulitan untuk rekaman live. “Akustiknya juga bagus sekali, mau diluar petir sedang kenceng, tetep aja suaranya gak bisa masuk,” ujar Waldjinah seraya menambahkan kualitas sound studio Lokananta juga tetap yang terbaik. “Saya tidak ingin Lokananta hilang”, kata Waldjinah, sesaat kemudian dirinya terdiam. “Lokananta itu sebuah sejarah.”

Dalam kesempatan terpisah, artis besar Lokananta lainnya, Bubi Chen, mengatakan hal yang sama. “Rekaman di Lokananta begitu berkesan,” kata Bubi Chen. “Rekaman saya adalah rekaman jazz pertama yang dilakukan Lokananta,” kata pianis yang masuk satu dari sepuluh besar pianis jazz dunia versi majalah Downbeat ini. Lokananta dengan studionya yang besar memang memungkinkan untuk melakukan live record, sebuah proses rekaman secara langsung karena permainan jazz yang penuh improvisasi. Oleh karena itu materi rekaman tidak direkam terpisah dalam tiap-tiap track. Saat itu nama kelompoknya adalah Bubi Chen Kwartet, salah satu anggotanya adalah Jack Lemmers, atau lebih dikenal dengan sebutan Jack Lesmana. Mereka merekam delapan buah lagu, beberapa diantaranya berjudul “Buaian Asmara” dan “Semalam”. Sayang, kover piringan hitam ini sudah hilang. Salah satu bukti bahwa Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang baik.
***

Jika diibaratkan, Lokananta sekarang  seperti kura-kura Galapagos. Tua, besar dan berjalan lamban. Segala kejayaan dan cerita-cerita manis seperti menguap. Sebetulnya situasi ini berawal setelah Deppen sebagai tempat bernaung Lokananta dibubarkan seiring jatuhnya Orde Baru. Lokananta sempat mengalami masa-masa vakum selama kurang lebih tiga tahun. Aktivitas rekaman terhenti meskipun penjualan album masih berjalan. “Kami cuma rekam ulang album-album lama untuk dijual lagi”, terang Titik. Yang kena getahnya adalah koleksi piringan hitam dan kaset hasil produksi sejak tahun 1956. Arsip-arsip penting dalam sejarah perjalanan industri musik Indonesia itu praktis hanya dibiarkan teronggok berdebu di sudut gudang. Membayangkannya saja sudah membuat miris.

Keberadaan Lokananta sebagai brankas musik nasional rupanya sempat menjadi rebutan beberapa pihak. “Pemprov Jawa Tengah dan Pemkot Solo sempat berminat untuk mengelola Lokananta”, papar Pendi. Namun upaya tersebut terbentur status Lokananta sebagai BUMN. Ketidakjelasan status Lokananta akhirnya menemui titik terang pada tahun 2004. Lewat usaha Subrata, mantan Dirut Perum PNRI, status Lokananta resmi berada dibawah Perum Percetakan Negara RI. Namanya pun berubah menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta, yang bertahan hingga sekarang.

Satu demi satu puluhan ribu piringan hitam dan kaset yang terserak ditata. Untuk menjaga jumlah koleksi, sejak tahun 2004 Lokananta tidak lagi menjual piringan hitam. Usut punya usut, rupanya a hal ini membuat sistem pengarsipan Lokananta sedikit kacau, kalau tidak mau dikatakan buruk. “Dulu, kalau satu album laris ya semuanya kita jual, ndak disisakan buat disimpan. Dulu belum berpikir kalau ini bakal jadi historical, jadi aset. Mungkin besok kaset nasibnya juga kayak gini”, kata Titik.

Jika mengingat Tahun Industri Kreatif yang didengungkan pemerintah sejak setahun silam, kisah Lokananta adalah suatu ironi. Bagaimana cikal bakal inudstri musik nasional, yang merupakan subsektor dalam industri kreatif, justru terlupakan (atau sengaja dilupakan). Perumpamannya seperti sebuah rumah besar dengan pondasi yang keropos. Padahal presiden kita saat ini punya hubungan yang erat dengan industri ini, setidaknya jika dilihat dari tiga produk industri musik yang sudah dihasilkannya.

Sampai detik ini, Lokananta tetaplah sosok tua yang sendirian. Studio besar itu tetap saja sepi dari aktivitas rekaman meski sudah ada penambahan fasilitas rekaman hingga 24 track. Studio besar yang kosong itu terus menunggu. Menanti musisi-musisi muda jenius untuk menggantikan para virtuoso alumnus Lokananta yang sayup-sayup suaranya masih bergema di dinding Lokananta, hingga hari ini.